Minggu, 25 November 2018

Pengertian, Jenis dan Fungsi Ekosistem Zona Kawasan Hutan Lindung Bagi Pertanian


UU RI No. 26 2007 dalam Muryono (2008) menyebutkan bahwa “Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan”. Fungsi utama kawasan lindung adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Nugraha, dkk 2006) dalam Muryono (2008). Berdasarkan fungsinya tersebut maka penggunaan lahan yang diperbolehkan adalah pengolahan lahan dengan tanpa pengolahan tanah (zero tillage) dan dilarang melakukan penebangan vegetasi hutan. (Nugraha, dkk dalam Muryono 2008).

Menurut Departemen Kehutanan dalam Muryono (2008), kawasan fungsi lindung merupakan satuan lahan dengan jumlah skor ketiga karakteristik fisiknya sama dengan atau lebih besar dari 175, atau memenuhi salah satu atau beberapa kriteria sebagai berikut :
1.      Mempunyai kemiringan lereng lebih > 45 %
2.      Kawasan yang mempunyai jenis tanah sangat peka terhadap erosi (regosol, litosol, organosol,dan renzina) dan mempunyai kemiringan lereng > 15%
3.      Jalur pengaman aliran sungai minimal 100 meter di kanan kiri alur sungai
4.      Merupakan pelindung mata air, yaitu 200 meter dari pusat mata air
5.      Berada pada ketinggian lebih atau sama dengan 2.000 m dpl.
Guna kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung.  Dalam menetapkan kawasan lindung selain ditetapkan berdasarkan karakteristik lahannya, dapat juga ditetapkan berdasarkan nilai kepentingan obyek, dimana setiap orang dilarang melakukan penebangan hutan dan mengganggu serta merubah fungsinya sampai pada radius atau jarak yang telah ditentukan.  Kawasan lindung yang ditetapkan berdasarkan keadaan tersebut di atas disebut sebagai kawasan lindung setempat. Kawasan lindung setempat yang dimaksud adalah sempadan sungai, kawasan sekitar mata air, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Ekosistem hutan merupakan salah satu ekosistem yang menjadi kawasan lindung. Hutan merupakan suatu areal yang di atas permukaan tanahnya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dari berbagai ukaran terdiri dari tanaman tinggi dan tanaman rendah sampai rumput-rumputan yang tumbuh secara alami. Tumbuhan ini bermanfaat bagi manusia, yaitu sebagai sumber penghasil kayu dan sumber untuk mempengaruhi iklim serta tata air di sekitar lingkungannya (Kartasapoetra, 1991). Menurut Indriyanto (2006), ekosistem hutan dapat dibagi menjadi empat.

1.      Ekosistem Hutan Hujan Tropis
            Menurut Vickery dalam Indriyanto (2006), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 100LU dan 100LS. Ekosistem hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 250C dengan perbedaaan temperatur yang kecil sepanjang tahun dan rata-rata kelembaban udara 80%. Arief dalam Indrianto (2006) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis adalah klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, bahkan lebih dari tiga stratum tajuk.                    Santoso dan Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Indriyanto (2006) menyatakan bahwa tipe hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson) dengan jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial dan Regosol dengan drainase yang baik serta terletak jauh dari pantai.
Haeruman dalam Indriyanto (2006) menyatakan bahwa hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan dengan lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang tergolong pepohonan penting dan merupakan hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di samping itu, hutan di Indonesia banyak dikenali ratusan spesies rotan, pohon tengkawang, anggrek serta beberapa umbi-umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan. Menurut Vickery dalam Indriyanto (2006), kecepatan daur ulang di dalam hutan sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara.
Menurut Santoso dan Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Indriyanto (2006), hutan hujan tropis dibedakan tiga zona, yaitu
a.    Zona Hutan Hujan Bawah
Hutan hujan tropis ini terletak pada daerah dengan ketinggian tempat antara 0 sampai 1.000 m dari permukaan laut. Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan bawah meliputi pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Irian, Sulawesi dan Maluku. Di hutan ini banyak terdapat spesies pohon anggota family Dipterocarpaceae, sehigga sering disebut juga hutan Dipterocarpaceae.
b.    Zona Hutan Hujan Tengah 
         Hutan hujan tropis ini terletak pada daerah dengan ketinggian tempat antara 1.000 sampai 3.300 m dari permukaan laut. Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan tengah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Aceh dan Sumatra Utara. Tipe ini agak khas, misalnya di Aceh dan Sumatra Utara terdapat spesies Pinus merkusii, di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albazzia Montana dan Anaphalis javanica.
c.    Zona Hutan Hujan Atas
Hutan hujan tropis ini terletak pada daerah dengan ketinggian tempat antara 3.300 sampai 4.100 m dari permukaan laut. Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan tengah hanya ada di Irian Jaya dan sebagian di Indonesia barat. Tipe ekosistem hutan hujan atas pada umumnya berupa kelompok hutan yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar. Pada ekosistem hutan hujan atas di Irian Jaya banyak terdapat spesies Conifer.

2.      Ekosistem Hutan Gambut
Hutan adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang tergenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5-4 , sehingga miskin hara (Arief dalam Indriyanto, 2006). Sedangkan menurut Indriyanto (2006), hutan gambut merupakan suatu tipe hutan yang unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekung tergenang air tawar.
Menurut Santoso dan Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Indriyanto (2006), tipe ekosistem hutan gambut berada pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B (tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson), pada tanah organosol yang memiliki lapisan gambut setebal lebih dari 50 cm. hutan ini biasanya terletak diantara hutan rawa dan hutan hujan.
Menurut Anwar dkk. dalam Indriyanto (2006), gambut dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk, yaitu
a.     Gambut ombrogen, bentuk gambut ini umumnya dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat pantai dengan kedalaman gambut mecapai 20 m. Air gambut ini sangat asam dan sangat miskin hara (oligotrofik) terutama kalsium karena tidak ada zat hara yang masuk dari sumber lain, sehingga tumbuhan yang hidup pada tanah gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut dan dari air hujan. 
b.    Gambut topogen, bentuk gambut ini jarang dijumpai, biasanya terbentuk pada lekukan-lekukan tanah di pantai (di balik bukit pasir) dan di daerah pedalaman yang drainasenya terhambat. Air gambut ini bersifat asam dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan yang hidup pada tanah gambut topogen masih mendapatkan zat hara dar tanah mineral, air sungai, sisa-sisa tumbuhan dan air hujan.
 
3.      Ekosistem Hutan Rawa
Beberapa cirri dari tipe ekosistem hutan rawa adalah ekosistem hutan yang tidak terpengaruh oleh iklim, terdapat pada daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang air tawar, terletak dibelakang hutan payau (mangrove) dengan jenis tanah alluvial dan kondisi aerasinya buruk (Arif, Direktorat Jendral Kehutanan dan Santoso dalam Indriyanto, 2006). Tipe ekosistem hutan rawa terdapat di Sumatra bagian timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Irian Jaya bagian selatan.
Vegetasi yang menyusun hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu hijau, diantaranya berupa pohon dengan ketinggian mencapai 40 meter dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena itu, bentuk hutan rawa hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis (Arif dalam Indriyanto, 2006).

4.      Ekosistem Hutan Payau
Ekosistem hutan payau (ekosistem hutan mangrove) adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi pasang surut air laut, kondisi tanah berlumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Ekosistem hutan ini disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di darerah payau (estuarine) atau disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Vegetasi yang terdapat dalam ekosistem hutan payau didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai akar napas atau pneumatofora (Ewusie dalam Indriyanto, 2006). Selain itu, terdapat spesies tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap terhadap salinitas payau sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halophytes obligat (Vickery dalam Indriyanto, 2006). Ekosistem hutan payau di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak 202 spesies (Bengen dalam Indriyanto, 2006). Dari segi ekologi, ekosistem hutan payau mrupakan habitat unik  dan paling khas. Ekosistem hutan payau berfungsi sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung pantai dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat sedimen, penghasil detritus, tempat berlindung dan mencari makan beberapa jenis satwa, tempat rekreasi dan penghasil kayu (Bengen dalam Indriyanto, 2006).

Bedasarkan tipe hutan yang telah disebutkan, tipe hutan hujan tropis di Indonesia merupakan tipe hutan yang paling luas yaitu mencapai 89% dari luas hutan di Indonesia. Tipe ekosistem hutan hujan tropis merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam dunia yang luasnya mencapai 900 juta hektar. Selain itu, hutan hujan tropis merupakan hutan tropis yang paling produktif dan paling tinggi nilainya dari segi volume kayu yang ada maupun dari nilai flora dan fauna yang beranekaragam (Santoso dalam Indriyanto, 2006). Selain itu, ekosistem hutan memiliki peranan penting dalam usaha konservasi tanah dan pengawetan air.
                         Jenis tanaman penutup tanah dan erosi yang ditimbulkan
Hutan dan jenis tanaman penutup tanah
Persentase air hujan di atas tanah
Besarnya erosi (ton/ha/tahun)
Hutan lebat
0,8
20
Hutan terbakar
2,6
470
Tanah berumput
1,5
540
Tanaman jagung
17,6
41.500
Tanaman kapas
19,9
46.900
Tanah gundul
49,0
514.000
Sumber : Badrudin Mahbub dalam Kartasapoetra dkk.,  1991
Menurut Kartasapoetra dkk. (1991), tanah gundul merupakan akibat perbuatan manusia yang kurang bertanggungjawab. Berlangsungnya curah hujan yang cukup lama dan deras, resistensinya yang telah rapuh dan dipengaruhi oleh run off sehingga besarnya tanah yang tererosi semakin besar tiap tahunnya.
Selain itu, hutan juga berperan penting dalam pengawetan air. Menurut Kartasapoetra dkk. (1991), ekosistem hutan yang tidak terganggu mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengawetan air bagi kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya. Peran hutan dalam pengawetan air, yaitu
a.       Hujan yang turun di atas kawasan ekosistem hutan sampainya ke permukaan tanah akan ditahan dan dihambat oleh daun-daunan dan ranting tumbuhan tinggi di kawasan itu, sehingga permukaan tanah akan terlindung dari timpaan titik hujan yang berdaya tumbuk (energi kinetik) berat. Air hujan yang tertahan oleh daun dan ranting tumbuhan akan mengalir ke bawah mengikuti batang pohon sehingga daya tumbuknya relatif kecil.
b.      Adanya tumbuhan rendah, semak belukar dan rumput-rumputan yang menutupi permukaan tanah, maka air tidak berdaya menghancurkan agregat tanah menjadi partikel kecil. Sebagian air yang terinfiltrasi ke dalam tanah telah dihisap oleh akar-akar tumbuhan yang kemudian ditranspirasikan. Sedangkan yang tertahan di atas permukaan tanah akan mengalir secara lambat sebagai aliran permukaan (run off), sebagian terjadi evaporasi, ada yang mengalir ke area pertanian dan ada yang mengalir ke sungai.
c.       Sebagian air yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah akan diabsorbsi oleh humus dan sebagian lagi air akan meresap lebih dalam lagi. Perkolasi pada akhirnya akan mencapai lapisan kulit bumi membentuk persediaan atau kandungan air dalam tanah bagian bawah. Air ini akan terus bergerak horizontal yang sangat lambat sehingga keluar dari kaki bukit sebagai mata air. Air ini jernih dan dapat memenuhi kebutuhan air di musim kemarau.
d.      Karena adanya pengawetan air ini, selain manusia akan tercegah dari bahaya kekurangan air bagi kelangsungan hidupnya, erosi tanahpun dengan adanya run off akan mengakibatkan bencana.

Hutan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kerusakan akibat ulah manusia. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap petani kecil, perambah hutan dan peladang yang selalu berpindah. Kedua, kelompok yang menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang berkontribusi paling besar atau minimal mendorong para perambah masuk ke dalam hutan sehingga menyebabkan hilangnya beberapa areal hutan.
Estimasi Laju Kerusakan Hutan Indonesia per Tahun (ribu hektar)
Penyebab Kerusakan Hutan
Estimasi Kerusakan Hutan (ribu hektar)
Departemen Kehutanan
Bank Dunia
John Dick (1991)
Walhi (1996)
1992
1996
1990
1994
Penebangan Hutan
77
200
80
80
120
-
Kebakaran Hutan
478
-
70
70
70
-
Transmigrasi
300
200
250
65
78
-
Perkebunan (Sawit)
160
250
12
12
-
Pertanian (Gambut)
-
-
130
30
-
Perambah Hutan
300
300
500
156
178
-
Peladang Berpindah
-
-
-
-
135
-
TOTAL
1315
950
900
900
623
2400
Sumber : Arifin (2001)
Berdasarkan data yang dikumpulkan, tercatat angka kerusakan hutan terendah sebesar 623 ribu hektar per tahun, sedangkan angka tertinggi tercatat 2,4 juta hektar per tahun. Menurut Arifin (2001), bank dunia mulai menyadari bahwa penyebab kerusakan hutan di Indonesia tidak lagi tertumpu pada pertambahan penduduk, system pertanian dan sistem perladangan berpindah. Hal ini didukung oleh Dick dalam Arifin (2001), laporan Bank Dunia yang terakhir telah memasukkan kesalahan manajemen atau kegagalan perumusan kebijakan baik di sektor kehutanan maupun di sektor terkait lainnya. Laporan itu secara rinci memuat perubahan fungsi system tata guna hutan dengan lima katagori, yaitu hutan produksi permanen, hutan produksi sementara, hutan lindung, hutan konservasi dan hutan konversi. Penurunan areal hutan terparah terjadi pada hutan konversi dan hutan produksi.

Sumber bacaan :

Arifin, B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Erlangga. Jakarta.Hal 61-65.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Hal 50-70.

.

Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra dan M.M. Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 92-97.
Muryono. 2008. Arahan fungsi pemanfaatan lahan Daerah aliran sungai samin Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2007. http://geoenviron.blogspot.co.id/2011/04/penentuan-fungsi-kawasan-lahan-dan.html. Diakses 30 November 2015. 




 

 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar