Kamis, 22 November 2018

Cara Pengolahan Lahan Untuk Tanaman Bawang Putih/Merah yang Baik dan Benar serta Morfologinya Secara Singkat


         Tanaman bawang putih (Allium sativum) adalah merupakan salah satu dari jenis tanaman sayuran umbi semusim yang tumbuh tegak sampai ketinggian 41-84 cm. Tanaman tumbuh membentuk rumpun dengan beberapa helai daun . Daunnya tumbuh memanjang, berbentuk pipih, kecil, dan sedikit agak melipat kedalam. Daun bawang putih memiliki pelepah yang memanjang sampai masuk kedalam tanah, pelepah ini disebut dengan kelopak daun, dan kelopak daun tersebut akan membungkus kelopak daun lainnya yang lebih muda yang berpusat pada tajuk sehingga terbentuk bulatan yang tersembul keluar atau batang semu. Batang tanaman bawang putih ini bersifat rudimenter (tidak sempurna) yang terbentuk dari tunas vegetatif (Cahyono,1996).
            Menurut Cahyono (1996), sistem perakaran pada bawang putih berupa akar serabut, tidak panjang dan tumbuh mendatar, sehingga akar tidak menembus tanah (perakaran dangkal). Menurut Wibowo (1995), umbi bawang putih berada di pangkal tanaman tepat diatas rudimenternya dan berada di dalam tanah. Umbi tersusun atas siung-siung yang tumbuh dan berkembang. Umbi berwarna putih dengan ukuran dan susunan siung berbeda-beda. Terbentuknya struktur umbi yang berbeda disebabkan faktor lingkungan yang tidak sesuai sehingga tanaman hanya membentuk tunas utama, kemudian tunas utama ini tumbuh dominan dan menekan tunas-tunas bakal siung sehingga terbentuklah umbi bawang yang utuh.


  • Keadaan Sifat Fisik, Kimia dan Biologis Tanah
Keadaan sifat fisik tanah yang sesuai untuk penanaman bawang putih dataran rendah adalah yang bertekstur lempung atau liat berpasir. Sedangkan struktur tanah yang dikendaki adalah yang gembur, banyak mengandung bahan organik, subur, tanah mudah mengikat air. Tanah yang mengandung banyak pasir kurang baik untuk ditanami bawang putih karena akan memperendah mutu umbi, yaitu umbi cepat masak sebelum sebelum waktunya, kulit luar yang terbentuk tipis dan siungnya mudah mengalami pecah-pecah atau rontok sehingga harga jual di pasaran menjadi rendah (Cahyono, 1996).
Keadaan sifat kimia tanah yang sesuai untuk penanaman bawang putih dataran rendah adalah tanah yang memiliki derajat keasaman (pH) berkisar antara 6-6,8. Namun, bawang putih masih toleran pada derajat keasamannya tinggi, yaitu pHnya rendah, maka keasaman tanah perlu diturunkan dengan menaikkan nilai pH tanah melalui pengapuran. Keadaan derajat keasaman ini berpengaruh terhadap tersedianya zat-zat hara, aktifitas jasad renik tanah dalam penguraian bahan organik dan pertumbuhan tanaman (Wibowo, 1995).   
1.      Kebutuhan Sulfur Bawang Putih
Menurut Hanafiah (2013), tanaman bawang putih perlu unsur S lebih banyak dari P bahkan mencapai dua kali lipatnya, namun lebih sedikit daripada N dan K. Menurut Salisbury dan Ross (1995), belerang diserap oleh tanaman dari tanah dalam bentuk anion sulfat valensi dua (SO42-). Sedangkan menurut Engelstad dalam Danapriatna (2015), sebagian kecil sulfur dalam bentuk gas SO2 yang diserap langsung oleh tanaman dari tanah dan atmosfer. Belerang dimetabolismekan oleh akar sebanyak yang diperlukan saja, dan sebagian besar sulfat ditranslokasikan tanpa perubahan ke tajuk melalui xilem.
Menurut Hanafiah (2013), sumber S bagi tanaman berasal dari pelapukan mineral tanah, gas belerang atmosfir dan dekomposisi bahan organik. Dekomposisi bahan organik akan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana berupa H2S dan sulfida, yang jika teroksidasi akan jadi sulfat. Sedangkan menurut Danapriatna (2015), sulfur telah diaplikasikan sejak dahulu dalam bentuk amonium sulfat, super fosfat dan kalium sulfat. Penambahan sulfur dalam bentuk unsur S berupa gipsum atau pirit, serta pupuk organik tergantung ketersediaan bahan dan kebutuhan dari tanaman dan tanah. Selain itu, sulfur dapat berupa pupuk anorganik, seperti ZA, Amonium fosfat sulfat, Alumunium sulfat dan pupuk SCU (sulfat coated urea).
Sebagian besar belerang dalam tumbuhan terdapat sebagai penyusun asam amino sistein dan methionin. Senyawa lain yang mengandung belerang adalah vitamin thiamin dan biotin. Belerang juga terkandung dalam koenzim A, yakni suatu senyawa esensial untuk respirasi dan sintesis serta penguraian asam-asam lemak (Lakitan, 2013). Sedangkan menurut Danapriatna (2015), peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat penting. Unsur S terdapat dalam senyawa mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumput-rumputan dan bawang-bawangan.
2.      Gejala Defisiensi Unsur S
Ketersediaan unsur S identik dengan kalium, yaitu menurun pada pH di bawah 6,0 dan tinggi pada pH 6,0 ke atas. Pada beberapa spesies, belerang tidak mudah dipindahkan dari jaringan dewasa, maka kekahatan biasanya terlihat pada daun muda (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Lakitan (2013), gejala kekurangan belerang ditunjukkan dengan daun muda  menjadi layu atau mengalami klorosis, tidak terdapat bercak dan tulang daun berwarna hijau muda. Sedangkan menurut Hanafiah (2013), kekurangan sulfur dapat terlihat pada daun muda yang mengalami klorosis namun tetap segar, pucuk atau titik tumbuh tidak mati dan tidak terdapat bercak jaringan mati.
Menurut Hanafiah (2013), defisiensi unsur S dapat terjadi terutama pada tanah berpasir, tanah-tanah yang tinggi kandungan oksida Fe dan Al atau alofan, dan rendah kandungan bahan organik.  
  •  Penyiapan Lahan Bawang Putih
Bawang putih merupakan tanaman yang tidak tahan hujan. Jadi waktu tanam yang baik adalah bulan Mei – Juni. Hal ini pula yang membuat Dinas Pertanian DIY mengupayakan bawang putih untuk masuk dalam pola tanam khusus musim kemarau. Dalam satu tahun, di Bantul dan Gunung Kidul hanya dapat ditanam satu kali (Yomusa, 2015).
Menurut Anwar (2012), untuk mendapatkan hasil yang baik, pengolahan tanah yang akan ditanami bawang putih sangat penting agar bawang yang ditanam tumbuh dengan subur. Sedangkan menurut Wibowo (1995), pada dasarnya pengolahan tanah meliputi penggemburan, pembuatan bedeng dan parit, pemupukan dasar serta pengapuran bagi tanah-tanah yang masam.
1.    Penggemburan
Menurut Cahyono (1996), penggemburan merupakan tahap awal pengolahan tanah yang bertujuan mengubah lahan yang keras dan padat menjadi tanah yang berstruktur halus (gembur) sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat maksimal. Pengolahan tahap ini, tanah dibajak dengan menggunakan bajak yang ditarik oleh hewan atau traktor. Pembajakan dilakukan dua sampai tiga kali sedalam 20-30 cm. Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama satu minggu, kemudian dibajak lagi dan dibiarkan lagi selama satu minggu agar bongkahan-bongkahan tanah dapat terangin–anginkan dan terkena sinar matahari sehingga sumber patogen dapat terbunuh secara alami. Selanjutnya, bongkahan tanah hasil pembajakan dihancurkan dengan dicangkul tipis-tipis serta diratakan dan dibiarkan selama seminggu.
2.    Pembuatan Bedeng
Setelah digemburkan, tanah dibentuk bedeng-bedeng dan parit-parit. Sebagai tempat tumbuhnya tanaman, bedengan harus dibuat dengan ukuran yang sesuai dan arah yang secara teknis dapat membantu penyebaran cahaya matahari merata keseluruh tanaman. Untuk itu, bedeng dibuat dengan ukuran lebar 60-120 cm, dan ukuran panjang bedengan dapat disesuaikan dengan kondisi lahan setempat (Cahyono, 1996). Sedangkan menurut Wibowo (1995), lebar bedeng sebaiknya 60-100 cm. Tinggi bedengan dibuat sekitar 30-50 cm dengan kedalaman parit sama dengan tinggi bedengan. Lebar parit antar bedengan dibuat sekitar 30-40 cm dan di sekeliling petak bedengan dibuat saluran pembuangan air (drainase) dengan ukuran lebar dan kedalaman 60 cm. Menurut Cahyono (1996), arah bedengan sebaiknya dibuat membujur kearah Timur-Barat supaya penyebaran cahaya matahari merata keseluruh tanaman sehingga tanaman dapat menggunakan secara optimal cahaya matahari sebagai sumber energi di dalam proses fotosintesis.
Keperluan zat-zat makanan dapat diberikan sekitar tanaman pada bedengan-bedengan sehingga lebih efisien, sedangkan kebutuhan airnya dapat dengan menyalurkannya melalui parit-parit yang sekaligus juga membuang air yang berkelebihan sehingga air tidak menggenang yang dapat merugikan kehidupan tanaman. Sebab, air yang menggenang dapat menimbulkan kepadatan tanah, dapat menutup pori-pori tanah yang dapat menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam tanah (aerasi buruk). Keadaan tersebut menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman karena lingkungan menjadi peka terhadap berkembangnya macam-macam penyakit dan tidak sesuai lagi bagi kehidupan tanaman maupun organisme tanah yang mempunyai peran besar di dalam penyediaan unsur hara. Keuntungan dari tanah yang ditinggikan adalah sifat fisik tanah pada bagian atas dimana tanaman tumbuh baik sehingga keseimbangan antara jumlah air dan oksigen di dalam tanah tetap terpelihara (Cahyono, 1996).
3.      Pengapuran
Menurut Wibowo (1995), keasaman tanah yang ideal bagi budidaya bawang putih sekitar pH 6-6,8. Keasaman tanah menurut Cahyono (1996) dapat diatasi dengan melakukan pengapuran untuk menetralisir keasaman tanah hingga sesuai dengan syarat tumbuh tanaman. Menurut Anwar (2012), untuk memastikan apakah tanah perlu ditambah kapur atau tidak, perlu dilakukan pengukuran keasaman tanah dengan alat pHmeter atau menggunakan kertas lakmus. Pemberian kapur terhadap tanah yang keasamannya tinggi harus diberikan sekitar 1 bulan sebelum penanaman. Menurut Cahyono (1996), akar bawang putih sangat peka terhadap pengapuran secara langsung. Apabila pengapuran dilakukan secara langsung dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kegiatan pengapuran hendaknya dilakukan bersamaan dengan penggemburan tanah sehingga pada proses pengolahan tanah sampai siap tanam yang memakan waktu kurang lebih 1 bulan telah terjadi reaksi tanah terhadap pengapuran sehingga tidak berbahaya bagi kehidupan tanaman. Cara pemberian kapur adalah ditaburkan secara merata pada permukaan tanah kemudian tanah dicangkul agar kapur dapat tercampur dengan tanah secara merata.
Menurut Cahyono (1996), kapur yang banyak digunakan untuk keperluan petanian adalah jenis dolomit. Dosis pengapuran tergantung dari derajat keasaman tanah sehingga kapur yang diperlukan setiap tanah berbeda-beda. Menurut Wibowo (1995), tanah berpasir tinggi dari pH 4,5 menjadi pH 5,5 diperlukan bubuk kapur halus sebanyak 0,6 ton per hektar. Sedangkan, pengapuran tanah berpasir tinggi dari pH 5,5 menjadi pH 6,5 diperlukan bubuk kapur halus 0,9 ton per hektar.   
4.    Pemberian Pupuk Dasar
Bedeng-bedeng yang telah terbentuk dan bersih dari rerumputan selanjutnya diberi pupuk kandang sebagai pupuk dasar. Menurut Cahyono (1996), pemberian pupuk dasar dengan pupuk kandang dianjurkan karena memiliki beberapa keuntungan antara lain :
a.       Dapat mempertahankan kesuburan tanah dan memperbaiki struktur tanah (tanah tetap gembur).
b.      Menambah zat-zat makanan atau unsur hara di dalam tanah
c.       Menambah kandungan humus atau bahan organik tanah yang berarti akan memperkaya unsur-unsur kimiawi dalam tanah
d.      Memperbaiki kehidupan organisme tanah sehingga dapat membantu proses penguraian bahan-bahan organik tanah menjadi unsur yang tesedia bagi tanaman.
          Menurut Cahyono (1996), waktu pemberian pupuk dasar dilakukan seminggu sebelum tanam atau pada saat pembuatan bedengan. Banyaknya pupuk kandang yang diberikan adalah 15-20 ton/ha, tergantung dari kondisi tanahnya. Dapat juga ditambahkan pupuk buatan (kimia), seperti urea, TSP, dan ZK dengan dosis masing-masing 200 kg, 30 kg, dan 70 kg yang dicampurkan menjadi satu. Sedangkan menurut Yomusa (2015), pupuk kandang diberikan dengan dosis 20 ton/ha ditaburkan di atasnya dan pupuk dicampur rata dengan tanah menggunakan cangkul. Selain pupuk kandang sebagai pupuk dasar, dapat menggunakan TSP, KCI dan ZA, masing-masing dengan dosis 200 kg, 50 kg dan 50 kg. Pupuk kimia ini diaplikasikan sehari sebelum tanam.


Sumber bacaan (mohon digunakan sebijak mungkin):
Anwar, T. 2012. Budidaya Bawang Putih dan Cara Menanam Bawang Putih. http://www.bestbudidayatanaman.com/2012/12/Budidaya-Bawang-Putih-dan-Cara-Menanam-Bawang-Putih.html. Diakses 23 Oktober 2015.
Cahyono, B. 1996. Budidaya Bawang Putih Dataran Rendah. Aneka. Solo. Hal 19-28. 
Danapriatna, N. 2015. Peranan Sulfur Bagi Pertumbuhan Tanaman. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19297&val=1224. Diakses 24 Oktober 2015.
Hanafiah, K.A. 2013. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Pers. Jakarta. 352 hal. 
Lakitan, B. 2013. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers. Jakarta. Hal 67-71.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. ITB Bandung. Bandung. Hal 145. 
Wibowo, S. 1995. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 37-42.

Yomusa. 2015. Cara Budidaya Bawang Putih Dataran Rendah. http://www.yomusa.com/2015/03/cara-budidaya-bawang-putih-dataran-rendah.html. diakses 24 Oktober 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar