UU
RI No. 26 2007 dalam Muryono (2008) menyebutkan bahwa “Kawasan lindung adalah
kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan”. Fungsi utama kawasan
lindung adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah (Nugraha, dkk 2006) dalam Muryono (2008). Berdasarkan
fungsinya tersebut maka penggunaan lahan yang diperbolehkan adalah pengolahan
lahan dengan tanpa pengolahan tanah (zero tillage) dan dilarang
melakukan penebangan vegetasi hutan. (Nugraha, dkk dalam Muryono 2008).
Menurut
Departemen Kehutanan dalam Muryono (2008), kawasan fungsi lindung merupakan satuan
lahan dengan jumlah skor ketiga karakteristik fisiknya sama dengan atau lebih
besar dari 175, atau memenuhi salah satu atau beberapa kriteria sebagai berikut
:
1.
Mempunyai kemiringan lereng lebih
> 45 %
2.
Kawasan yang mempunyai jenis tanah
sangat peka terhadap erosi (regosol, litosol, organosol,dan renzina) dan
mempunyai kemiringan lereng > 15%
3.
Jalur pengaman aliran sungai minimal
100 meter di kanan kiri alur sungai
4.
Merupakan pelindung mata air, yaitu
200 meter dari pusat mata air
5.
Berada pada ketinggian lebih atau
sama dengan 2.000 m dpl.
Guna kepentingan khusus dan
ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung. Dalam menetapkan
kawasan lindung selain ditetapkan berdasarkan karakteristik lahannya, dapat
juga ditetapkan berdasarkan nilai kepentingan obyek, dimana setiap orang
dilarang melakukan penebangan hutan dan mengganggu serta merubah fungsinya
sampai pada radius atau jarak yang telah ditentukan. Kawasan lindung yang
ditetapkan berdasarkan keadaan tersebut di atas disebut sebagai kawasan lindung
setempat. Kawasan lindung setempat yang dimaksud adalah sempadan sungai, kawasan
sekitar mata air, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Ekosistem
hutan merupakan salah satu ekosistem yang menjadi kawasan lindung. Hutan merupakan suatu areal yang di atas permukaan
tanahnya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dari berbagai ukaran terdiri dari
tanaman tinggi dan tanaman rendah sampai rumput-rumputan yang tumbuh secara
alami. Tumbuhan ini bermanfaat bagi manusia, yaitu sebagai sumber penghasil
kayu dan sumber untuk mempengaruhi iklim serta tata air di sekitar
lingkungannya (Kartasapoetra, 1991). Menurut Indriyanto
(2006), ekosistem hutan dapat dibagi menjadi empat.
1.
Ekosistem
Hutan Hujan Tropis
Menurut Vickery dalam Indriyanto
(2006), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang
telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 100LU dan 100LS.
Ekosistem hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah
hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 250C dengan
perbedaaan temperatur yang kecil sepanjang tahun dan rata-rata kelembaban udara
80%. Arief dalam Indrianto (2006) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis adalah
klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum
tajuk, bahkan lebih dari tiga stratum tajuk. Santoso
dan Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Indriyanto (2006) menyatakan bahwa tipe
hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B
(menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson) dengan jenis tanah Podsol, Latosol,
Aluvial dan Regosol dengan drainase yang baik serta terletak jauh dari pantai.
Haeruman dalam
Indriyanto (2006) menyatakan bahwa hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai
jumlah spesies tumbuhan yang banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari
40.000 spesies tumbuhan dengan lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang tergolong
pepohonan penting dan merupakan hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di
samping itu, hutan di Indonesia banyak dikenali ratusan spesies rotan, pohon
tengkawang, anggrek serta beberapa umbi-umbian sebagai sumber makanan dan
obat-obatan. Menurut Vickery dalam Indriyanto (2006), kecepatan daur ulang di
dalam hutan sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin
kekurangan unsur hara.
Menurut Santoso
dan Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Indriyanto (2006), hutan hujan tropis
dibedakan tiga zona, yaitu
a.
Zona
Hutan Hujan Bawah
Hutan hujan
tropis ini terletak pada daerah dengan ketinggian tempat antara 0 sampai 1.000
m dari permukaan laut. Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan bawah meliputi
pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Irian, Sulawesi dan Maluku. Di
hutan ini banyak terdapat spesies pohon anggota family Dipterocarpaceae, sehigga sering disebut juga hutan Dipterocarpaceae.
b.
Zona
Hutan Hujan Tengah
Hutan hujan tropis ini terletak pada daerah dengan
ketinggian tempat antara 1.000 sampai 3.300 m dari permukaan laut. Penyebaran
tipe ekosistem hutan hujan tengah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi,
Aceh dan Sumatra Utara. Tipe ini agak khas, misalnya di Aceh dan Sumatra Utara
terdapat spesies Pinus merkusii, di
Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albazzia
Montana dan Anaphalis javanica.
c.
Zona
Hutan Hujan Atas
Hutan hujan tropis ini terletak pada daerah dengan
ketinggian tempat antara 3.300 sampai 4.100 m dari permukaan laut. Penyebaran
tipe ekosistem hutan hujan tengah hanya ada di Irian Jaya dan sebagian di
Indonesia barat. Tipe ekosistem hutan hujan atas pada umumnya berupa kelompok
hutan yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar. Pada ekosistem hutan
hujan atas di Irian Jaya banyak terdapat spesies Conifer.
2.
Ekosistem
Hutan Gambut
Hutan adalah
hutan yang tumbuh di atas kawasan yang tergenangi air dalam keadaan asam dengan
pH 3,5-4 , sehingga miskin hara (Arief dalam Indriyanto, 2006). Sedangkan
menurut Indriyanto (2006), hutan gambut merupakan suatu tipe hutan yang unik
karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada
umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki
topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekung
tergenang air tawar.
Menurut Santoso
dan Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Indriyanto (2006), tipe ekosistem hutan
gambut berada pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B (tipe iklim menurut
Schmidt dan Ferguson), pada tanah organosol yang memiliki lapisan gambut
setebal lebih dari 50 cm. hutan ini biasanya terletak diantara hutan rawa dan
hutan hujan.
Menurut Anwar
dkk. dalam Indriyanto (2006), gambut dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk,
yaitu
a.
Gambut
ombrogen, bentuk gambut ini umumnya
dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat pantai dengan kedalaman gambut
mecapai 20 m. Air gambut ini sangat asam dan sangat miskin hara (oligotrofik)
terutama kalsium karena tidak ada zat hara yang masuk dari sumber lain, sehingga
tumbuhan yang hidup pada tanah gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut
dan dari air hujan.
b.
Gambut
topogen, bentuk gambut ini jarang dijumpai, biasanya terbentuk
pada lekukan-lekukan tanah di pantai (di balik bukit pasir) dan di daerah pedalaman
yang drainasenya terhambat. Air gambut ini bersifat asam dan mengandung zat
hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan yang hidup pada tanah gambut topogen
masih mendapatkan zat hara dar tanah mineral, air sungai, sisa-sisa tumbuhan
dan air hujan.
3.
Ekosistem
Hutan Rawa
Beberapa cirri
dari tipe ekosistem hutan rawa adalah ekosistem hutan yang tidak terpengaruh
oleh iklim, terdapat pada daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang air
tawar, terletak dibelakang hutan payau (mangrove) dengan jenis tanah alluvial
dan kondisi aerasinya buruk (Arif, Direktorat Jendral Kehutanan dan Santoso
dalam Indriyanto, 2006). Tipe ekosistem hutan rawa terdapat di Sumatra bagian
timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Irian Jaya bagian selatan.
Vegetasi yang menyusun hutan rawa termasuk kategori
vegetasi yang selalu hijau, diantaranya berupa pohon dengan ketinggian mencapai
40 meter dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena itu, bentuk hutan
rawa hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis (Arif dalam Indriyanto,
2006).
4.
Ekosistem
Hutan Payau
Ekosistem hutan
payau (ekosistem hutan mangrove) adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah
pantai dan secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi pasang surut air
laut, kondisi tanah berlumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Ekosistem hutan
ini disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di darerah payau (estuarine) atau disebut juga ekosistem
hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut air
laut.
Vegetasi yang
terdapat dalam ekosistem hutan payau didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai
akar napas atau pneumatofora (Ewusie
dalam Indriyanto, 2006). Selain itu, terdapat spesies tumbuhan yang memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap terhadap salinitas payau sehingga
spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halophytes
obligat (Vickery dalam Indriyanto, 2006). Ekosistem
hutan payau di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi
dengan jumlah spesies tercatat sebanyak 202 spesies (Bengen dalam Indriyanto,
2006). Dari segi ekologi, ekosistem hutan payau mrupakan habitat unik dan paling khas. Ekosistem hutan payau
berfungsi sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung pantai dari
proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat sedimen, penghasil
detritus, tempat berlindung dan mencari makan beberapa jenis satwa, tempat
rekreasi dan penghasil kayu (Bengen dalam Indriyanto, 2006).
Bedasarkan tipe hutan yang telah disebutkan, tipe
hutan hujan tropis di Indonesia merupakan tipe hutan yang paling luas yaitu
mencapai 89% dari luas hutan di Indonesia. Tipe ekosistem hutan hujan tropis
merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam dunia yang luasnya mencapai 900
juta hektar. Selain itu, hutan hujan tropis merupakan hutan tropis yang paling
produktif dan paling tinggi nilainya dari segi volume kayu yang ada maupun dari
nilai flora dan fauna yang beranekaragam (Santoso dalam Indriyanto, 2006). Selain
itu, ekosistem hutan memiliki peranan penting dalam usaha konservasi tanah dan
pengawetan air.
Jenis tanaman penutup tanah dan erosi yang
ditimbulkan
Hutan dan jenis tanaman penutup tanah
|
Persentase air hujan di atas tanah
|
Besarnya erosi (ton/ha/tahun)
|
Hutan lebat
|
0,8
|
20
|
Hutan terbakar
|
2,6
|
470
|
Tanah berumput
|
1,5
|
540
|
Tanaman jagung
|
17,6
|
41.500
|
Tanaman kapas
|
19,9
|
46.900
|
Tanah gundul
|
49,0
|
514.000
|
Sumber : Badrudin Mahbub dalam Kartasapoetra dkk., 1991
Menurut Kartasapoetra dkk. (1991), tanah gundul merupakan akibat
perbuatan manusia yang kurang bertanggungjawab. Berlangsungnya curah hujan yang
cukup lama dan deras, resistensinya yang telah rapuh dan dipengaruhi oleh run
off sehingga besarnya tanah yang tererosi semakin besar tiap tahunnya.
Selain itu, hutan juga berperan penting dalam pengawetan air. Menurut
Kartasapoetra dkk. (1991), ekosistem hutan yang tidak terganggu mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pengawetan air bagi kepentingan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Peran hutan dalam pengawetan air, yaitu
a.
Hujan
yang turun di atas kawasan ekosistem hutan sampainya ke permukaan tanah akan
ditahan dan dihambat oleh daun-daunan dan ranting tumbuhan tinggi di kawasan
itu, sehingga permukaan tanah akan terlindung dari timpaan titik hujan yang
berdaya tumbuk (energi kinetik) berat. Air hujan yang tertahan oleh daun dan
ranting tumbuhan akan mengalir ke bawah mengikuti batang pohon sehingga daya
tumbuknya relatif kecil.
b.
Adanya
tumbuhan rendah, semak belukar dan rumput-rumputan yang menutupi permukaan
tanah, maka air tidak berdaya menghancurkan agregat tanah menjadi partikel
kecil. Sebagian air yang terinfiltrasi ke dalam tanah telah dihisap oleh
akar-akar tumbuhan yang kemudian ditranspirasikan. Sedangkan yang tertahan di atas
permukaan tanah akan mengalir secara lambat sebagai aliran permukaan (run off),
sebagian terjadi evaporasi, ada yang mengalir ke area pertanian dan ada yang
mengalir ke sungai.
c.
Sebagian
air yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah akan diabsorbsi oleh humus dan
sebagian lagi air akan meresap lebih dalam lagi. Perkolasi pada akhirnya akan
mencapai lapisan kulit bumi membentuk persediaan atau kandungan air dalam tanah
bagian bawah. Air ini akan terus bergerak horizontal yang sangat lambat
sehingga keluar dari kaki bukit sebagai mata air. Air ini jernih dan dapat
memenuhi kebutuhan air di musim kemarau.
d.
Karena
adanya pengawetan air ini, selain manusia akan tercegah dari bahaya kekurangan
air bagi kelangsungan hidupnya, erosi tanahpun dengan adanya run off akan
mengakibatkan bencana.
Hutan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
kerusakan akibat ulah manusia. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh dua
kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap petani kecil, perambah hutan dan
peladang yang selalu berpindah. Kedua, kelompok yang menyimpulkan bahwa
kebijakan pemerintah yang berkontribusi paling besar atau minimal mendorong
para perambah masuk ke dalam hutan sehingga menyebabkan hilangnya beberapa
areal hutan.
Estimasi
Laju Kerusakan Hutan Indonesia per Tahun (ribu hektar)
Penyebab Kerusakan Hutan
|
Estimasi Kerusakan Hutan (ribu hektar)
|
|||||
Departemen Kehutanan
|
Bank Dunia
|
John Dick (1991)
|
Walhi (1996)
|
|||
1992
|
1996
|
1990
|
1994
|
|||
Penebangan Hutan
|
77
|
200
|
80
|
80
|
120
|
-
|
Kebakaran Hutan
|
478
|
-
|
70
|
70
|
70
|
-
|
Transmigrasi
|
300
|
200
|
250
|
65
|
78
|
-
|
Perkebunan (Sawit)
|
160
|
250
|
12
|
12
|
-
|
|
Pertanian (Gambut)
|
-
|
-
|
130
|
30
|
-
|
|
Perambah Hutan
|
300
|
300
|
500
|
156
|
178
|
-
|
Peladang Berpindah
|
-
|
-
|
-
|
-
|
135
|
-
|
TOTAL
|
1315
|
950
|
900
|
900
|
623
|
2400
|
Sumber : Arifin (2001)
Berdasarkan data yang dikumpulkan, tercatat angka kerusakan hutan
terendah sebesar 623 ribu hektar per tahun, sedangkan angka tertinggi tercatat
2,4 juta hektar per tahun. Menurut Arifin (2001), bank dunia mulai menyadari
bahwa penyebab kerusakan hutan di Indonesia tidak lagi tertumpu pada
pertambahan penduduk, system pertanian dan sistem perladangan berpindah. Hal
ini didukung oleh Dick dalam Arifin (2001), laporan Bank Dunia yang terakhir
telah memasukkan kesalahan manajemen atau kegagalan perumusan kebijakan baik di
sektor kehutanan maupun di sektor terkait lainnya. Laporan itu secara rinci
memuat perubahan fungsi system tata guna hutan dengan lima katagori, yaitu
hutan produksi permanen, hutan produksi sementara, hutan lindung, hutan
konservasi dan hutan konversi. Penurunan areal hutan terparah terjadi pada
hutan konversi dan hutan produksi.
Sumber bacaan :
Arifin, B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam
Indonesia. Erlangga. Jakarta.Hal 61-65.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Hal 50-70.
.
Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra dan M.M.
Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta. Hal
92-97.
Muryono.
2008. Arahan fungsi pemanfaatan lahan
Daerah aliran sungai samin Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo Tahun
2007. http://geoenviron.blogspot.co.id/2011/04/penentuan-fungsi-kawasan-lahan-dan.html. Diakses 30 November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar