Tanaman
bawang putih (Allium sativum) adalah merupakan salah satu dari jenis
tanaman sayuran umbi semusim yang tumbuh tegak sampai ketinggian 41-84 cm. Tanaman
tumbuh membentuk rumpun dengan beberapa helai daun . Daunnya tumbuh memanjang,
berbentuk pipih, kecil, dan sedikit agak melipat kedalam. Daun bawang putih
memiliki pelepah yang memanjang sampai masuk kedalam tanah, pelepah ini disebut
dengan kelopak daun, dan kelopak daun tersebut akan membungkus kelopak daun
lainnya yang lebih muda yang berpusat pada tajuk sehingga terbentuk bulatan
yang tersembul keluar atau batang semu. Batang tanaman bawang putih ini
bersifat rudimenter (tidak sempurna) yang terbentuk dari tunas vegetatif (Cahyono,1996).
Menurut Cahyono (1996), sistem perakaran
pada bawang putih berupa akar serabut, tidak panjang dan tumbuh mendatar,
sehingga akar tidak menembus tanah (perakaran dangkal). Menurut Wibowo (1995),
umbi bawang putih berada di pangkal tanaman tepat diatas rudimenternya dan
berada di dalam tanah. Umbi tersusun atas siung-siung yang tumbuh dan
berkembang. Umbi berwarna putih dengan ukuran dan susunan siung berbeda-beda.
Terbentuknya struktur umbi yang berbeda disebabkan faktor lingkungan yang tidak
sesuai sehingga tanaman hanya membentuk tunas utama, kemudian tunas utama ini
tumbuh dominan dan menekan tunas-tunas bakal siung sehingga terbentuklah umbi
bawang yang utuh.
- Keadaan Sifat Fisik, Kimia dan Biologis Tanah
Keadaan sifat fisik tanah yang sesuai untuk penanaman bawang putih
dataran rendah adalah yang bertekstur lempung atau liat berpasir. Sedangkan
struktur tanah yang dikendaki adalah yang gembur, banyak mengandung bahan
organik, subur, tanah mudah mengikat air. Tanah yang mengandung banyak pasir
kurang baik untuk ditanami bawang putih karena akan memperendah mutu umbi,
yaitu umbi cepat masak sebelum sebelum waktunya, kulit luar yang terbentuk
tipis dan siungnya mudah mengalami pecah-pecah atau rontok sehingga harga jual
di pasaran menjadi rendah (Cahyono, 1996).
Keadaan sifat kimia tanah yang sesuai untuk penanaman bawang putih
dataran rendah adalah tanah yang memiliki derajat keasaman (pH) berkisar antara
6-6,8. Namun, bawang putih masih toleran pada derajat keasamannya tinggi, yaitu
pHnya rendah, maka keasaman tanah perlu diturunkan dengan menaikkan nilai pH
tanah melalui pengapuran. Keadaan derajat keasaman ini berpengaruh terhadap
tersedianya zat-zat hara, aktifitas jasad renik tanah dalam penguraian bahan
organik dan pertumbuhan tanaman (Wibowo, 1995).
1.
Kebutuhan
Sulfur Bawang Putih
Menurut Hanafiah (2013), tanaman
bawang putih perlu unsur S lebih banyak dari P bahkan mencapai dua kali
lipatnya, namun lebih sedikit daripada N dan K. Menurut Salisbury dan Ross
(1995), belerang diserap oleh tanaman dari tanah dalam bentuk anion sulfat
valensi dua (SO42-). Sedangkan menurut Engelstad dalam
Danapriatna (2015), sebagian kecil sulfur dalam bentuk gas SO2 yang
diserap langsung oleh tanaman dari tanah dan atmosfer. Belerang
dimetabolismekan oleh akar sebanyak yang diperlukan saja, dan sebagian besar
sulfat ditranslokasikan tanpa perubahan ke tajuk melalui xilem.
Menurut Hanafiah (2013), sumber S
bagi tanaman berasal dari pelapukan mineral tanah, gas belerang atmosfir dan
dekomposisi bahan organik. Dekomposisi bahan organik akan menghasilkan
senyawa-senyawa sederhana berupa H2S dan sulfida, yang jika
teroksidasi akan jadi sulfat. Sedangkan menurut Danapriatna (2015), sulfur
telah diaplikasikan sejak dahulu dalam bentuk amonium sulfat, super fosfat dan
kalium sulfat. Penambahan sulfur dalam bentuk unsur S berupa gipsum atau pirit,
serta pupuk organik tergantung ketersediaan bahan dan kebutuhan dari tanaman
dan tanah. Selain itu, sulfur dapat berupa pupuk anorganik, seperti ZA, Amonium
fosfat sulfat, Alumunium sulfat dan pupuk SCU (sulfat coated urea).
Sebagian besar belerang dalam
tumbuhan terdapat sebagai penyusun asam amino sistein dan methionin. Senyawa
lain yang mengandung belerang adalah vitamin thiamin dan biotin. Belerang juga
terkandung dalam koenzim A, yakni suatu senyawa esensial untuk respirasi dan
sintesis serta penguraian asam-asam lemak (Lakitan, 2013). Sedangkan menurut
Danapriatna (2015), peranan S dalam pertumbuhan dan
metabolisme tanaman sangat penting. Unsur S terdapat dalam senyawa mudah
menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumput-rumputan dan
bawang-bawangan.
2.
Gejala
Defisiensi Unsur S
Ketersediaan unsur S
identik dengan kalium, yaitu menurun pada pH di bawah 6,0 dan tinggi pada pH
6,0 ke atas. Pada beberapa spesies, belerang tidak mudah dipindahkan dari jaringan
dewasa, maka kekahatan biasanya terlihat pada daun muda (Salisbury dan Ross, 1995).
Menurut Lakitan (2013), gejala kekurangan belerang ditunjukkan dengan daun
muda menjadi layu atau mengalami
klorosis, tidak terdapat bercak dan tulang daun berwarna hijau muda. Sedangkan
menurut Hanafiah (2013), kekurangan sulfur dapat terlihat pada daun muda yang
mengalami klorosis namun tetap segar, pucuk atau titik tumbuh tidak mati dan
tidak terdapat bercak jaringan mati.
Menurut Hanafiah
(2013), defisiensi unsur S dapat terjadi terutama pada tanah berpasir, tanah-tanah
yang tinggi kandungan oksida Fe dan Al atau alofan, dan rendah kandungan bahan
organik.
- Penyiapan Lahan Bawang Putih
Bawang putih merupakan tanaman yang tidak tahan
hujan. Jadi waktu tanam yang baik adalah bulan Mei – Juni. Hal ini pula yang
membuat Dinas Pertanian DIY mengupayakan bawang putih untuk masuk dalam pola
tanam khusus musim kemarau. Dalam satu tahun, di Bantul dan Gunung Kidul hanya
dapat ditanam satu kali (Yomusa, 2015).
Menurut Anwar (2012), untuk mendapatkan hasil
yang baik, pengolahan tanah yang akan ditanami bawang putih sangat penting agar
bawang yang ditanam tumbuh dengan subur. Sedangkan menurut Wibowo (1995), pada dasarnya pengolahan tanah meliputi penggemburan, pembuatan
bedeng dan parit, pemupukan dasar serta pengapuran bagi tanah-tanah yang masam.
1.
Penggemburan
Menurut Cahyono (1996), penggemburan merupakan tahap awal pengolahan tanah yang bertujuan
mengubah lahan yang keras dan padat menjadi tanah yang berstruktur halus
(gembur) sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat maksimal.
Pengolahan tahap ini, tanah dibajak dengan menggunakan bajak yang ditarik oleh
hewan atau traktor. Pembajakan dilakukan dua sampai tiga kali sedalam 20-30 cm.
Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama satu minggu, kemudian dibajak lagi dan
dibiarkan lagi selama satu minggu agar bongkahan-bongkahan tanah dapat terangin–anginkan
dan terkena sinar matahari sehingga sumber patogen dapat terbunuh secara alami.
Selanjutnya, bongkahan tanah hasil pembajakan dihancurkan dengan dicangkul
tipis-tipis serta diratakan dan dibiarkan selama seminggu.
2.
Pembuatan
Bedeng
Setelah digemburkan, tanah dibentuk bedeng-bedeng dan parit-parit.
Sebagai tempat tumbuhnya tanaman, bedengan harus dibuat dengan ukuran yang
sesuai dan arah yang secara teknis dapat membantu penyebaran cahaya matahari
merata keseluruh tanaman. Untuk itu, bedeng dibuat dengan ukuran lebar 60-120
cm, dan ukuran panjang bedengan dapat disesuaikan dengan kondisi lahan setempat
(Cahyono, 1996). Sedangkan menurut Wibowo (1995), lebar bedeng sebaiknya 60-100
cm. Tinggi bedengan dibuat sekitar 30-50 cm dengan kedalaman parit sama dengan
tinggi bedengan. Lebar parit antar bedengan dibuat sekitar 30-40 cm dan di
sekeliling petak bedengan dibuat saluran pembuangan air (drainase) dengan
ukuran lebar dan kedalaman 60 cm. Menurut Cahyono (1996), arah bedengan
sebaiknya dibuat membujur kearah Timur-Barat supaya penyebaran cahaya matahari
merata keseluruh tanaman sehingga tanaman dapat menggunakan secara optimal
cahaya matahari sebagai sumber energi di dalam proses fotosintesis.
Keperluan zat-zat makanan dapat diberikan sekitar tanaman pada
bedengan-bedengan sehingga lebih efisien, sedangkan kebutuhan airnya dapat
dengan menyalurkannya melalui parit-parit yang sekaligus juga membuang air yang
berkelebihan sehingga air tidak menggenang yang dapat merugikan kehidupan
tanaman. Sebab, air yang menggenang dapat menimbulkan kepadatan tanah, dapat
menutup pori-pori tanah yang dapat menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam
tanah (aerasi buruk). Keadaan tersebut menyebabkan terganggunya pertumbuhan
tanaman karena lingkungan menjadi peka terhadap berkembangnya macam-macam
penyakit dan tidak sesuai lagi bagi kehidupan tanaman maupun organisme tanah
yang mempunyai peran besar di dalam penyediaan unsur hara. Keuntungan dari
tanah yang ditinggikan adalah sifat fisik tanah pada bagian atas dimana tanaman
tumbuh baik sehingga keseimbangan antara jumlah air dan oksigen di dalam tanah
tetap terpelihara (Cahyono, 1996).
3.
Pengapuran
Menurut Wibowo (1995),
keasaman tanah yang ideal bagi budidaya bawang putih sekitar pH 6-6,8. Keasaman tanah menurut Cahyono (1996) dapat diatasi dengan melakukan
pengapuran untuk menetralisir keasaman tanah hingga sesuai dengan syarat tumbuh
tanaman.
Menurut Anwar (2012), untuk memastikan apakah tanah perlu ditambah kapur atau
tidak, perlu dilakukan pengukuran keasaman tanah dengan alat pHmeter atau
menggunakan kertas lakmus. Pemberian
kapur terhadap tanah yang keasamannya tinggi harus diberikan sekitar 1 bulan
sebelum penanaman. Menurut Cahyono (1996), akar bawang putih sangat peka
terhadap pengapuran secara langsung. Apabila pengapuran dilakukan secara
langsung dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kegiatan pengapuran hendaknya dilakukan
bersamaan dengan penggemburan tanah sehingga pada proses pengolahan tanah
sampai siap tanam yang memakan waktu kurang lebih 1 bulan telah terjadi reaksi
tanah terhadap pengapuran sehingga tidak berbahaya bagi kehidupan tanaman. Cara
pemberian kapur adalah ditaburkan secara merata pada permukaan tanah kemudian
tanah dicangkul agar kapur dapat tercampur dengan tanah secara merata.
Menurut
Cahyono (1996), kapur yang banyak digunakan untuk keperluan petanian adalah
jenis dolomit. Dosis pengapuran tergantung dari derajat keasaman tanah sehingga
kapur yang diperlukan setiap tanah berbeda-beda. Menurut Wibowo (1995), tanah
berpasir tinggi dari pH 4,5 menjadi pH 5,5 diperlukan bubuk kapur halus
sebanyak 0,6 ton per hektar. Sedangkan, pengapuran tanah berpasir tinggi dari
pH 5,5 menjadi pH 6,5 diperlukan bubuk kapur halus 0,9 ton per hektar.
4.
Pemberian Pupuk Dasar
Bedeng-bedeng
yang telah terbentuk dan bersih dari rerumputan selanjutnya diberi pupuk
kandang sebagai pupuk dasar. Menurut Cahyono (1996), pemberian pupuk dasar
dengan pupuk kandang dianjurkan karena memiliki beberapa keuntungan antara lain
:
a.
Dapat
mempertahankan kesuburan tanah dan memperbaiki struktur tanah (tanah tetap
gembur).
b.
Menambah
zat-zat makanan atau unsur hara di dalam tanah
c.
Menambah
kandungan humus atau bahan organik tanah yang berarti akan memperkaya
unsur-unsur kimiawi dalam tanah
d.
Memperbaiki
kehidupan organisme tanah sehingga dapat membantu proses penguraian bahan-bahan
organik tanah menjadi unsur yang tesedia bagi tanaman.
Menurut
Cahyono (1996), waktu pemberian pupuk dasar dilakukan seminggu sebelum tanam
atau pada saat pembuatan bedengan. Banyaknya pupuk kandang yang diberikan
adalah 15-20 ton/ha, tergantung dari kondisi tanahnya. Dapat juga ditambahkan
pupuk buatan (kimia), seperti urea, TSP, dan ZK dengan dosis masing-masing 200
kg, 30 kg, dan 70 kg yang dicampurkan menjadi satu. Sedangkan menurut Yomusa
(2015), pupuk
kandang diberikan dengan dosis 20 ton/ha ditaburkan di atasnya dan pupuk
dicampur rata dengan tanah menggunakan cangkul. Selain pupuk kandang sebagai
pupuk dasar, dapat menggunakan TSP, KCI dan ZA, masing-masing dengan dosis 200
kg, 50 kg dan 50 kg. Pupuk kimia ini diaplikasikan sehari sebelum tanam.
Sumber bacaan (mohon digunakan sebijak mungkin):
Anwar, T. 2012. Budidaya Bawang Putih dan Cara Menanam Bawang
Putih. http://www.bestbudidayatanaman.com/2012/12/Budidaya-Bawang-Putih-dan-Cara-Menanam-Bawang-Putih.html. Diakses 23
Oktober 2015.
Cahyono, B. 1996. Budidaya Bawang Putih Dataran Rendah. Aneka.
Solo. Hal 19-28.
Danapriatna, N. 2015. Peranan Sulfur Bagi
Pertumbuhan Tanaman. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19297&val=1224. Diakses 24 Oktober 2015.
Hanafiah, K.A.
2013. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Pers. Jakarta. 352 hal.
Lakitan, B. 2013. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers.
Jakarta. Hal 67-71.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. ITB
Bandung. Bandung. Hal 145.
Wibowo, S. 1995. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal 37-42.
Yomusa. 2015. Cara Budidaya Bawang Putih Dataran
Rendah. http://www.yomusa.com/2015/03/cara-budidaya-bawang-putih-dataran-rendah.html. diakses 24 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar